Selasa, 17 April 2018

MENGENAL LEBIH JAUH SISTEM POLDER

Apa itu Sistem Polder???
Polder adalah dataran rendah yang membentuk daerah yang dikelilingi oleh tanggul. Pada daerah ini air buangan seperti air kotor dan air hujan dikumpulkan di suatu badan air (sungai, kanal) lalu dipompakan ke badan air yang lebih tinggi posisinya, hingga pada akhirnya dipompakan ke sungai atau kanal yang bermuara ke laut. Polder juga bisa diartikan sebagai tanah yang direklamasi. Sistem polder banyak diterapkan pada reklamasi laut atau muara sungai, juga pada manajemen air buangan (air kotor dan drainase hujan) di daerah yang lebih rendah dari permukaan laut dan sungai.
Penerapan sistem polder dapat memecahkan masalah banjir perkotaan. Suatu subsistem-subsistem pengelolaan tata air tersebut sangat demokratis dan mandiri sehingga dapat dikembangkan dan dioperasikan oleh dan untuk masyarakat dalam hal pengendalian banjir kawasan permukiman mereka. Unsur terpenting di dalam sistem polder adalah organisasi pengelola, tata kelola sistem berbasis partisipasi masyarakat yang demokratis dan mandiri, serta infrastruktur tata air yang dirancang, dioperasikan dan dipelihara oleh masyarakat. Sedangkan pemerintah hanya bertanggung jawab terhadap pengintegrasian sistem-sistem polder, pembangunan, pengoperasian dan pemeliharaan sungai-sungai utama. Hal tersebut merupakan penerapan prinsip pembagian tanggung jawab dan koordinasi dalam good governance.
Sistem Polder
(Sumber : Laporan Akhir ” Pengembangan Teknologi Bangunan Air Pengendalian Banjir Perkotaan Menuju Waterfront City”)
Mengapa perlu dikembangkan Sistem Polder???
Pengembangan kota-kota pantai di Indonesia seperti Jakarta dan Semarang seringkali lebih didasarkan kepada kepentingan pertumbuhan ekonomi. Selain itu, pengembangan kawasan-kawasan ini menimbulkan banjir yang menunjukkan ketidakseimbangan pembangunan. Maka dari itulah perlu upaya peningkatan atau pengembangan aspek teknologi dan manajemen untuk pengendalian banjir dan ROB di kota-kota pantai di Indonesia. Dengan demikian sistem polder dikembangkan karena menggunakan paradigma baru, diantaranya berwawasan lingkungan (environment oriented), pendekatan kewilayahan (regional based), dan pemberdayaan masyarakat pengguna.
Sistem polder yang merupakan suatu daerah yang dikelilingi tanggul atau tanah tinggidibangun agar air banjir atau genangan dapat dicegah dan pengaturan air di dalamnya dapat dikuasai tanpa pengaruh keadaan di luarnya. Suatu sub­sistem-subsistem pengelolaan tata air tersebut dianggap pas dan mandiri yang dikembangkan dan dioperasikan oleh dan untuk masyarakat dalam pengen­dalian banjir kawasan per­mu­kiman. Penerapan sistem polder selama ini dinilai sebagai salah satu jurus yang dapat me­me­cah­kan masalah banjir perkotaan.

Apa saja tipe-tipe polder yang dibangun ???
Ada 5 tipe polder menurut asalnya, tujuannya, maupun bentuknya, diantaranya polder diperoleh dengan cara reklamasi suatu daerah rawa, air payau, dan tanah-tanah basah, polder yang dilindungi tanggul memanjang searah sungai, polder akibat pembendungan atau penanggulan pada muara sungai, polder akibat pengendapan sedimen pada muara, polder yang terbentuk dari proses land subsidence perlahan-lahan dari muka tanah menjadi tanah rendah di bawah muka air laut rata-rata.

Bagaimana Kriteria Desain Sistem Polder???
Polder merupakan salah satu Sistem Tata Saluran Pembuang di Rawa yang disebut Sistem Tertutup.
  
Kondisi hidrologi dan tata air dalam sistem ini dapat dikontrol sepenuhnya oleh manusia.Biasanya sistem ini berupa sistem yang dilengkapi bangunan pengendali muka air, misalnya pintu klep otomatis. Umumnya sistem pembuangannya menggunakan pompa.
Kelengkapan sarana fisik pada sistem polder antara lain : saluran air atau kanal atau  tampungan memanjang dan waduk, tanggul, serta pompa. Saluran air atau tampungan memanjang dan waduk dibangun sebagai sarana untuk mengatur penyaluran air ketika elevasi air di titik pembuangan lebih tinggi dari elevasi saluran di dalam kawasan.Yang kedua ialah tanggul yang dibuat di sekeliling kawasan yang berguna untuk mencegah masuknya air kedalam kawasan, baik yang berasal dari luapan sungai, limpasan permukaan atau akibat naiknya muka air laut. Sebaliknya dengan adanya tanggul, air yang ada di dalam kawasan tidak dapat keluar. Tanggul dibuat dengan ukuran yang lebar, besar, dan tinggi serta dapat difungsikan sebagai jalan. Yang ketiga ialah pompa air yang berfungsi sebagai pengering air pada badan air, dan bekerja secara otomatis apabila volume atau elevasi air melebihi nilai perencanaan.

Gambar Cara Kerja Sistem Polder
(Sumber:http://kompetiblog2011.studidibelanda.com/news/2011/05/1/656/holland_is_the_best_technology_in_water_management.html)
Gambar Sistem Polder
  
Apa keunggulan Sistem Polder???
Sistem Polder mampu mengendalikan banjir dan genangan akibat aliran dari hulu, hujan setempat naiknya muka air laut (ROB). Selain dapat mengendalikan air, sistem polder juga dapat digunakan sebagai obyek wisata atau rekreasi, lahan pertanian, perikanan, dan lingkungan industri serta perkantoran.

Apa kelemahan Sistem Polder???
Sistem kerja pada polder sangat bergantung pada pompa. Jika pompa mati, maka kawasan akan tergenang. Sehingga diperlukan adanya pengawasan pada pompa. Selain itu, biaya operasi dan pemeliharaannya relatif mahal.
Problema penanganan banjir di lapangan untuk kota-kota di Indonesia cukup rumit karena ruang terbuka untuk resapan air semakin langka. Kondisi tersebut merupakan akibat dari Tata Ruang Wilayah dan Kawasan tidak dikelola secara memadai dan alih fungsi lahan menjadi permukiman penduduk semakin tidak terkendali. Sehingga pemerintah perlu mengoptimalkan sistem polder dengan memasang tanggul pengaman untuk kawasan rendah dan mengembangkan drainase di perkotaan yang masih memiliki gravitasi, guna mengurangi kawasan banjir akibat genangan. Dalam mengembangkan sistem polder perkotaan harus dilakukan secara terintegrasi antara rencana tata ruang dan tata air utamanya pada kota-kota pantai yang memiliki cekungan.
Setiap tetes air buangan yang jatuh pada kawasan polder harus didrainase dengan bantuan pompa, dan untuk itu perlu disosialisasikan konsep pengendalian pengembangan sistem polder berkelanjutan sebagai langkah antisipasi terhadap perubahan akibat pembangunan yang sangat mempengaruhi dan berdampak pada lingkungan.
Cara Belanda Atasi Banjir

Belajar Banjir ke Negeri Belanda


Nama asli Belanda adalah Koninkrijk der Nederlande yang berarti negeri berdaratan rendah. Itu karena sekitar 60 persen dari negara ini terletak di bawah permukaan laut. Permukaan tertinggi terdapat di Vaalsberg dengan ketinggian 321 mdpl (meter di atas permukaan laut). Sedangkan permukaan terendah ialah Nieuwerker aan den IJssel yang berada 6,76 meter di bawah permukaan laut.

Selain itu, sebagian wilayah Belanda yang sangat datar, akan memperlambat aliran air ke laut. Kondisi tak menguntungkan ini dapat mengancam Belanda ketika musim penghujan tiba. Ini terbukti ketika banjir besar yang terus menghantam Belanda. Sehingga pada 1920, dimulailah pembangunan bendungan yang dinamakan Afsluitdijk.

Banjir masih terjadi seperti pada 1953. Banjir ini menyebabkan sebagian besar wilayah Belanda terendam banjir dan setidaknya 1.800 orang tenggelam. Belanda pun kembali membangun bendungan Oosterschelde yang merupakan bendungan canggih sepanjang 9 km dan memiliki pintu air yang bisa menutup jika air pasang dan banjir datang.

Sistem Polder juga digunakan Pemerintah Belanda untuk menghadang banjir serta mengontrol ketinggian air. Polder merupakan sebidang tanah yang rendah, dikelilingi oleh tanggul yang membentuk semacam kesatuan hidrologis buatan. Ini artinya tak ada kontak dengan air dari daerah luar, selain yang di alirkan melalui perangkat manual ke tempat tersebut.

Air buangan seperti air hujan di kumpulkan ke area Polder ini, dan di pompa ke sungai atau kanal yang langsung bermuara ke laut. Polder merupakan sistem tata air tertutup dengan meliputi berbagai elemen seperti tanggul, pompa, saluran air, kolam retensi, pengaturan lahan dan instalasi air kotor terpisah. 

Terdapat beberapa tipe Polder jika didasarkan pada asalnya dan bentuknya. Ada Polder yang merupakan dataran rendah yang dikelilingi oleh tanggul dan searah sungai. Selain itu ada Polder hasil reklamasi sebuah daerah rawa, air payau dan tanah basah. Ada juga Polder akibat pembendungan pada muara sungai.

Sesungguhnya sistem ini sudah dikembangkan Belanda pada abad ke-11, dengan adanya dewan yang bertugas menjaga ketinggian air dan menanggulangi banjir (waterschappen). Sistem ini disempurnakan pada abad ke-13 dengan menggunakan kincir angin untuk memompa air keluar dari daerah yang berada di bawah permukaan air laut. 

Berdasarkan laporan Pemerintah Belanda yang berjudul Water Management in the Netherlandspemerintah Belanda juga membangun tanggul-tanggul raksasa (Dijken) bagi daerah-daerah yang tidak memiliki Polder, agar terhindar dari gelombang pasang-surut laut. Dijken juga melindungi daerah rendah yang menjadi muara dari dua sungai besar Eropa yakni sungai Rijn dan sungai Maas. Tanggul ini terdapat di pinggir pantai provinsi Zeeland, Noord Holland, Frisland dan Groningen. 

Pemerintah Belanda juga membangun sungai dan kanal buatan. Ini sengaja dibangun untuk memudahkan hubungan dari satu sungai ke sungai lainnya melalui kota-kota tertentu. Itulah kenapa transportasi air pun menjadi modal utama di negara ini yang juga membantu perekonomian setempat. Sungai-sungai ini bisa menghubungkan Belanda dengan Jerman dan negara-negara di belakangnya melalui sungai Rijn. Sedangkan sungai Maas dapat menghubungkan Belanda dengan Belgia dan Perancis. 

Pemerintah Belanda sangat serius dalam mengatasi ancaman banjir dan gelombang laut. Ini terlihat dari pembentukan dewan khusus yakni Rijkswaterstaat yang bertanggung jawab terhadap pembangunan, inovasi dan lainnya yang berhubungan dengan pencegahan banjir dan pengelolaan air di Belanda.

Berdasarkan data dari Rijkswaterstaat, pemerintah Belanda konsisten mengucurkan $2,8 miliar untuk proyek sungainya. Alih-alih memerangi air, belanda malah memanfaatkannya untuk pembangunan negaranya. Pengelolaan air yang baik melalui sungai, bendungan, dam, kanal dan tanggul membuat sekitar empat juta penduduk Belanda terjauh dari ancaman banjir.

Belanda sudah membuktikan jika bencana alam seperti banjir dapat di hindari. Namun secara konsisten perlu dilakukan berbagai inovasi tambahan.

Di Indonesia terutama Kota Jakarta yang notabene sama seperti Belanda yang berada di bawah permukaan laut, sepertinya pun perlu melakukan langkah agresif seperti Belanda. Komitmen kuat baik dari pemerintah DKI Jakarta serta dukungan dari masyarakat sangat penting untung mengatasi banjir. Tak hanya di Jakarta tapi untuk semua wilayah di Indonesia yang sering menjadi langganan banjir.
Siapapun gubernurnya, pemprov DKI Jakarta pasti sulit mengendalikan banjir. Masalah utama di Jakarta jelas bukan terletak pada figur. Ada lagi yang sangat penting, yakni faktor geografis atau topografi.
Jakarta terletak di dataran yang sangat rendah. Di beberapa tempat ketinggian permukaan tanahnya, hanya beberapa sentimeter di atas permukaan laut. Bahkan sebagian di bawah permukaan laut dalam bentuk rawa-rawa.
Tingkat sedimentasi yang tinggi di sungai-sungainya membuat air tidak dapat mengalir dari tempat tinggi ke tempat yang lebih rendah. Maka kanal-kanal yang tadinya diharapkan dapat membantu menggelontorkan air hujan dengan cepat ke Teluk Jakarta, tak dapat berfungsi maksimal. Tragisnya, semakin tahun permukaan tanah di Jakarta semakin menurun.
Banjir (besar) di Jakarta umumnya terjadi pada Januari-Februari karena merupakan puncak bulan basah, yakni bulan yang curah hujannya lebih dari 100 milimeter. Pada bulan-bulan ini pun tanah sudah jenuh dengan air karena penguapan air sangat kecil.
Hanya satu teknologi yang dianggap mampu meminimalisasi banjirJakarta, yakni teknologi Belanda. Negara yang berada di bawah permukaaan air laut itu, dengan teknologi bendungan dan kincir angin, selalu aman-aman saja dari terjangan banjir.
Data Arkeologi
Menurut tafsiran dari data arkeologi, banjir Jakarta sudah terjadi sejak abad ke-5 Masehi. Informasi ini disampaikan oleh Prasasti Tugu yang ditemukan di daerah Tanjung Priok. Prasasti itu dikeluarkan oleh Raja Purnawarman dari Kerajaan Tarumanagara, menyebutkan pembuatan saluran Gomati dan Candrabhaga. Kemungkinan kedua saluran besar itu berfungsi untuk mengendalikan  banjir.
Sejak lama diyakini masalah banjir Jakarta dapat diatasi dengan membangun kanal, terusan, sodetan, dan saluran. Dulu salah satu kiat Belanda untuk mengatasi banjir di Batavia adalah membuat saluran dari Harmoni lurus ke laut membelah Jalan Gajah Mada dan Hayam Wuruk sekarang.
Banjir di Jakarta jelas sulit dihilangkan. Apalagi Jakarta memiliki tiga jenis banjir, yakni banjir lokal, banjir rob, dan banjir kiriman. Paling-paling banjir hanya bisa diminimalisasi dengan pembuatan situ atau bendungan di daerah atas (penyangga), revitalisasi/normalisasi sungai, dan pembangunan kanal/saluran/sodetan di dalam kota.
Masyarakat masa kini juga tidak memiliki kearifan lingkungan, padahal kearifan lingkungan adalah kunci ketenteraman hidup sejak ratusan tahun lalu. Pada abad ke-9—ke-10 masyarakat Jawa kuno, sudah mengenal organisasi yang berkenaan dengan lingkungan hidup. Beberapa petugas kerajaan yang berhubungan dengan lingkungan hidup, antara lain tuha alas, juru alas, atau pasuk alas(menunjukkan profesi pengawas kehutanan). 
Sebutan demikian terdapat pada Prasasti Jurungan (876 M), Tunahan (872), Haliwangbang (877), Mulak (878), Mamali (878), Kwak I (879), Taragal (830), Kubukubu (905), Cane (1021), Sarsahan (908), dan Kaladi (909). Selain itu, ada jabatan tuhaburu, yakni pejabat yang mengurusi masalah perburuan binatang di hutan.
Untuk menanggulangi timbulnya bencana alam yang dapat mengakibatkan ketidakseimbangan ekosistem, Raja Airlangga pernah memerintahkan pembangunan Bendungan Wringin Sapta. Berkat adanya penampungan air tersebut, sebagaimana informasi dari Prasasti Kamalagyan (1037), kehidupan penduduk menjadi tenang.
Sebelumnya, Sungai Brantas sering kali menjebolkan tanggul di Wringin Sapta sehingga banyak desa di bagian hilir kebanjiran. Tapi setelah adanya bendungan, aliran Sungai Brantas dipecah menjadi tiga bagian, sehingga air menjadi tenang.
Petugas lain yang disebutkan prasasti adalah hulair atau lebleb, sekarang mungkin ulu-ulu. Hulair bertugas mengurusi masalah irigasi di pedesaan. Berkat adanya petugas itu, lahan-lahan pertanian tidak pernah kekeringan.  
Dulu kemurkaan Sungai Brantas dan Bengawan Solo bisa diminimalisasi lewat pembuatan bendungan dan kearifan lingkungan. Seharusnya keganasan Sungai Ciliwung dan sungai-sungai lain pun mampu ditanggulangi dengan cara demikian. Sudah saatnya pemprov DKI Jakarta mengacu pada data arkeologi.
Citra Satelit
Penelitian citra satelit terhadap Situs Trowulan (Jawa Timur) pernah mengidentifikasi adanya saluran-saluran saling tegak lurus yang bermuara pada Sungai Gintung dan Sungai Brantas. Melalui foto udara inframerah juga diketahui masih adanya berbagai peninggalan purbakala di bawah permukaan tanah (Aris Poniman dan Priyadi Kardono, 1996).
Ketika itu berhasil terekam pula kondisi situs-situs kuno Banten Lama, Muara Jambi, Muara Takus, Palembang, Penanggungan, Leang-leang, dan Somba Opu. Penelitian Jakarta purba tentu saja bisa dilakukan seperti itu. Melalui bantuan alat modern, para ilmuwan mampu mengetahui adanya alur sungai, garis pantai, pulau, dan saluran purba di suatu situs.
Berdasarkan ‘penemuan’ tersebut, seharusnya sejumlah sungai purbadiaktifkan kembali untuk mengurangi dampak banjir yang sering melanda negara kita. Sungai-sungai purba itu terbukti memberi peran sangat besar untuk kehidupan penduduk sekaligus melestarikan lingkungan pada masa lampau.
Banyak kearifan kuno sebenarnya masih sangat relevan dengan kondisi saat ini.***
Sebenarnya ada hal penting yang harus kira ketahui, mengapa banjir di jakarta tak kunjung usai. ini karena banyak gedung-gedung pencakar langit yang saat ini menggunakan sumur sintesis, dan dampak dari banyaknya sumur sintesis akan membuat tanah di suwatu daerah akan menurun. dan itu yang akan membuat keadaan semakin parah.
Mendengar Kota Semarang, mungkin yang pertama terlintas adalah kuliner lumpia-nya yang terkenal bahkan hingga ke mancanegara. Namun puluhan hektar tambak di pesisir Semarang banyak yang rusak karena terjangan intrusi air laut atau yang disebut penduduk setempat sebagai "rob".
Rob merupakan masalah klasik yang sudah ada sejak dulu di Semarang. Pemanasan global menyebabkan naiknya permukaan air laut dan menyebabkan rob bertambah parah. Tak hanya merugikan nelayan, rob juga mengganggu aktivitas masyarakat Kota Semarang dan sekitarnya. Salah satunya, kemacetan di jalur pantai utara Jawa. Ribuan rumah penduduk serta sejumlah fasilitas umum, seperti sekolah, pasar dan puskesmas bakal terendam.
Selama lima tahun terakhir, Pemkot Semarang juga berupaya keras mengatasi rob dan banjir. Sejumlah langkah diambil seperti normalisasi Banjir Kanal Barat, Kali Asin, Kali Semarang, Kali Baru, Kali Tenggang, Kali Beringin. Sejumlah saluran air ditinggikan, seperti Kali Es, Pasar Johar, MT. Haryono, kawasan Bubakan, Jalan Agus Salim, kawasan Simpang Lima, dan Jalan Imam Bonjol.
Pemkot juga membangun long storage di kawasan Kampung Kali, penambahan kapasitas pompa Kartini, pembangunan pompa Johar dan pompa Taman Mberok serta optimalisasi kolam retensi, 94 pompa dan 35 rumah pompa yang tersebar di beberapa wilayah di Kota Semarang.
Rob melanda Stasiun Tawang, Semarang. (Foto: IST)Rob melanda Stasiun Tawang, Semarang. (Foto: IST)
“Pembebasan lahan untuk mendukung pembangunan Waduk Jatibarang selesai tahun 2013 dan saat ini telah beroperasi. Kami juga mengeruk sedimentasi atau sampah di beberapa sungai dan saluran,” kata Wali Kota Semarang, Hendrar Prihadi.
Penanganan banjir dan rob di Kota Semarang diklaim mulai menuai hasil setelah kolam retensi Kali Semarang beroperasi. Salah satu indikatornya, kawasan yang biasanya tergenang banjir dan rob kini sudah bebas genangan, misalnya Semarang Utara, sebagian Semarang Tengah, dan Semarang Timur.
Sesuai dengan Perda Masterplan Drainase, Semarang dibagi menjadi tiga sistem, yakni barat, tengah, timur dan Mangkang. Untuk sistem drainase tengah sudah berjalan baik. Tahun ini, subsistem Banger diharapkan selesai dan bisa dioperasikan.
Penanganan banjir dan rob memang harus komprehensif dengan melibatkan seluruh stakeholder, utamanya masyarakat. Masyarakat harus diajak bersama-sama menangani masalah. Caranya, dengan tidak membuang sampah di sungai.
Tahun ini, Pemkot Semarang mengalokasikan anggaran hingga Rp 165 miliar untuk menangani masalah rob dan banjir. Jika dibiarkan, iklim investasi di Kota Atlas akan terganggu. Investor tentu tak mau menanamkan modalnya jika banjir dan rob terus dibiarkan berlarut-larut tanpa penyelesaian.